Air Tawar di SMAN 1 Sapeken: Inovasi Kecil yang Mengubah Wajah Pendidikan

- Mohammad -
- 19 Jul, 2025
Oleh: Fujianto, S.S., M.Pd
Kepala Sekolah SMAN 1 Sapeken
Di ujung timur Pulau Madura,
tersembunyi sebuah kisah sederhana namun menginspirasi dari SMAN 1 Sapeken.
Berdiri sejak tahun 2002 di wilayah kepulauan yang terpencil, sekolah ini
selama lebih dari dua dekade bergumul dengan satu persoalan mendasar: kekurangan
air tawar.
Air asin menjadi bagian dari
keseharian siswa—bukan karena pilihan, tetapi karena keadaan. Air yang tersedia
selama ini bersumber dari sumur dengan kadar garam tinggi. Tidak hanya
mengganggu kenyamanan saat beribadah dan kegiatan belajar mengajar, tapi juga membuat aktivitas dasar
seperti menggunakan toilet menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan.
"Saya tidak ikut salat berjamaah
karena air wudhunya asin, bikin mata perih," ujar seorang siswa kepada guru
mereka. “Saya ijin mau pulang untuk ke kamar mandi” ujar siswa
yang lain. Keluhan
sederhana itu menjadi titik balik yang memicu lahirnya inovasi besar dari
sekolah kecil ini.
Masalah yang Terabaikan
Masalah air asin di SMAN 1 Sapeken
bukan hal baru. Namun selama ini, kondisi itu diterima sebagai
"kenormalan" hidup di pulau. Siswa terbiasa pulang ke rumah hanya
untuk buang air, bahkan membeli air mineral untuk keperluan sanitasi pribadi.
Ini tidak hanya menurunkan kenyamanan, tetapi juga mengganggu proses
belajar.
Melihat urgensi tersebut, kepala
sekolah bergerak cepat. Keluhan siswa diverifikasi kepada warga sekolah lain,
hingga akhirnya diputuskan bahwa masalah ini tak bisa dibiarkan.
Dari Musyawarah hingga Gotong Royong
Solusi dimulai dari hal paling
sederhana: rapat guru. Dalam musyawarah, disepakati bahwa
sekolah perlu mencari sumber air tawar yang bisa dimanfaatkan. Kepala sekolah
bersama tim kemudian melakukan penjajakan ke masyarakat sekitar, dan sambutan
pun tak terduga: tujuh warga bersedia menawarkan sumur pribadi mereka untuk
digunakan sekolah.
Setelah melalui seleksi, satu sumur
terbaik dipilih. Lokasinya strategis, dan kualitas airnya paling layak untuk
kebutuhan sekolah.
Tanpa menunggu bantuan besar, sekolah
membeli pipa paralon dan memanfaatkan mesin pompa air lama (Sanyo) yang ada.
Proses pemasangan dilakukan secara gotong royong antara guru, siswa, dan warga
sekitar. Hasilnya? Untuk pertama kalinya dalam 23 tahun, air tawar
mengalir di sekolah.
Perubahan yang Nyata
Inovasi ini bukan hanya soal air. Ini tentang mengembalikan
martabat siswa dalam menjalani kehidupan sekolah.
·
Siswa
kini nyaman beribadah.
·
Tidak
ada lagi izin mendadak untuk pulang ke rumah karena ingin ke toilet.
·
Kegiatan
belajar-mengajar berjalan lebih lancar.
·
Kebersihan
sekolah meningkat drastis.
·
Banyak tanaman hias yang mulai hidup.
·
Dan yang terpenting: partisipasi warga dalam
pendidikan terasa nyata.
Memanusiakan Pendidikan
Inovasi pengadaan air tawar ini mungkin
tampak sederhana di mata luar. Tapi di Sapeken, ini adalah lompatan
besar. Ia menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang nilai dan
kurikulum, tetapi juga tentang keberpihakan terhadap kebutuhan dasar anak-anak.
Kepala sekolah menyebutnya sebagai
upaya untuk memanusiakan pendidikan, sebuah frasa yang mungkin terlalu
sering didiskusikan namun jarang keberpihakannya pada hari ini.
SMAN 1 Sapeken berharap langkah kecil
ini bisa menginspirasi sekolah-sekolah lain, khususnya di daerah-daerah
kepulauan dan terpencil
yang menghadapi tantangan serupa. Karena sejatinya, inovasi bukan soal
teknologi tinggi, tetapi tentang keberanian untuk peduli
terhadap mahluk hidup dan alam sebagai ciptaan Allah SWT.
(*)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *